HACKTIVISME
Menyikapi
perkembangan kondisi terkini, yaitu mulai munculnya aktifitas deface
(penggantian halaman/tampilan depan) situs-situs di Internet.
Agar para
pemilik situs Internet di Indonesia, khususnya pengelola (admin) web server /
hosting, lebih meningkatkan kewaspadaan selama masa Pemilu 2004 ini. Mereka
harus melakukan pemeriksaan (scanning) yang menyeluruh terhadap isi server
mereka, jangan sampai ada program-program yang tidak dikenal dan cukup
berbahaya yang tanpa mereka sadari telah tertanam didalam. Selain itu, mereka
juga harus melakukan updating dan patching atas operating system (o/s) dan
segala macam software yang mereka gunakan untuk membangun web server mereka.
Alasannya
adalah, karena kini mulai ada indikasi bahwa kelompok cracker Indonesia (atau
sering kita kenal sebagai black hacker) mulai kembali aktif melakukan deface.
Kelompok cracker tersebut pada dasarnya adalah sebuah "sel tidur",
yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan melakukan aksinya, setelah mereka tertidur
cukup lama. Keadaan "sel tidur" mereka sangat dimungkinkan, mengingat
bahwa komunitas mereka pada umumnya bersifat maya, tepatnya berbentuk suatu
virtual community di sebuah chatroom. Dengan sifatnya yang virtual tersebut,
maka dengan mudah sebuah komunitas dapat "ditidurkan" atau
"diaktifkan" kapan saja dengan mudah.
Karena
sifat virtualnya, komunitas tersebut lalu seolah tidak pernah kekurangan
anggota. Pelaku hacking dari generasi sebelumnya yang telah 'pensiun'
dan beralih pekerjaan sebagai konsultan teknologi informasi kemudian digantikan
oleh hacker yang lebih muda."Jadi, pelaku defacing situs
sekarang kemungkinan besar adalah hacker-hacker baru, namun berasal dari
kelompok hacker yang sama."
Apakah
itu Hacktivisme
Hacktivisme adalah suatu reaksi
yang dilatar-belakangi oleh semangat para hacker ataupun cracker untuk
melakukan protes terhadap suatu kondisi politik / sosial negaranya.
Ada empat faktor
(4-M) yang dapat mengaktifkan atau membangun sel tidur (kelompok crecker) untuk
melakukan aksinya, antara lain:
1.
Motivasi yang dimaksud adalah adanya rangsangan yang
berupa faktor pengaruh "peer group", baik yang internal ataupun
eksternal. Yang internal adalah, adanya motivasi-motivasi dari dalam kelompok,
seperti ajakan, hasutan, pujian antar sesama rekan kepada rekan lainnya untuk
melakukan aktifitas deface. Sedangkan yang eksternal, adalah motivasi-motivasi
yang berupa semangat bersaing antar kelompok dalam melakukan aksi deface dan
motivasi untuk menjadi terkenal antar kelompok atau pun di masyarakat luas,
baik secara personal maupun kelompok. Ada motivasi model lain yang bisa saja
terjadi, yaitu adanya semangat hacktivisme. Hacktivisme ini adalah aksi-aksi
semisal deface yang dilatar-belakangi oleh semangat para hacker/cracker untuk
melakukan protes terhadap suatu kondisi politik/sosial. Tetapi motivasi ala
hacktivisme ini sedikit sekali terjadi di Indonesia. Aktifitas deface yang
"sekedar memanfaatkan momentum" dengan "waktu aktif yang
pendek", tidak bisa secara otomatis dikatakan sebagai hacktivisme.
2.
Mekanisme yang dimaksud adalah adanya server-server
yang kebetulan lemah mekanisme pertahanannya atau tidak/jarang dilakukan update
/ patch, sehingga para cracker tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan
aksi deface mereka. Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan
penerobosan ke server (exploit software) yang tersedia di Internet dan dapat
mudah digunakan oleh para cracker
Hal tersebut juga didukung
dengan tersedianya mekanisme sekunder yang berfungsi untuk mendeteksi kelemahan
suatu sistem di Internet, yaitu berupa berbagai exploit software, yang tersedia
di Internet dan dapat dengan mudah digunakan oleh para cracker yang tingkat
pemula sekalipun.
3.
Momen yang dimaksud adalah adanya suatu pra-kondisi /
isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat luas, sehingga cracker akan
"menumpang" pada isu tersebut dengan tujuan agar informasi atas
aktifitas mereka ikut terangkat ke atas. Kita ingat, pada tahun 2002 lalu
aktifitas deface sempat memanas, yang ketika itu para cracker menumpang pada
isu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Australia. Nah kini,
isu yang sedang hangat-hangatnya adalah Pemilihan Umum 2004, sehingga sangat
mungkin cracker akan menumpang aktifitasnya pada isu tersebut (pemilu, partai
politik, dan sebagainya).
4.
Media Massa yang dimaksud adalah adanya kesempatan bagi
para cracker untuk menjadi terkenal atau memperkenalkan diri/kelompoknya
melalui pemberitaan media massa, berkaitan dengan hasil dari aktifitas deface
mereka. Pemberitaan media yang kurang berimbang, semisal memposisikan para cracker
sebagai tokoh yang heroik, nasionalisme atau sebagai pahlawan, tanpa mengupas
lebih lanjut dari sisi kerusakan yang ditimbulkannya dan kerugian yang diderita
oleh korbannya, tentu akan semakin menyuburkan keberadaan cracker tersebut.
akan Hal ini tentu berkaitan dengan M yang pertama, yaitu "motivasi"
untuk menjadi terkenal di kalangan masyarakat luas.
Kemudian miskonsepsi atas
keberadaan cracker dan akfititasnya di tengah masyarakat dan acapkali
dipertegas oleh media massa, kerap dimanfaatkan oleh para cracker untuk menjadi
terkenal atau memperkenalkan kelompoknya. Misalnya, memposisikan cracker
sebagai tokoh yang heroik dan secara gegabah mempercaya klaim mereka bahwa
aktifitas deface yang mereka lakukan dilandasai oleh faktor hacktivisme ataupun
nasionalisme, merupakan sebuah miskonsepsi yang secara umum terjadi di
tengah-tengah kita.
Melihat pada
kondisi di atas, maka kembali ingin saya tekankan di sini, bahwa sudah
selazimnya para pemilik situs Internet
di Indonesia, khususnya pengelola (admin) web server / hosting, lebih
meningkatkan kewaspadaan selama masa Pemilu 2004 ini. Ada kemungkinan,
aktifitas deface akhir-akhir ini akan mengalami eskalasi yang cukup signifikan
dengan adanya 4-M tersebut di atas.
Yang perlu
dipahami juga adalah, aktifitas deface tersebut walaupun menggunakan momen
Pemilu 2004, target-target korbannya tidaklah harus situs-situs yang berkaitan
dengan Pemilu (situs pemilu, situs partai, dan sebagainya), tetapi bisa juga
situs-situs umum yang bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan
Pemilu ataupun politik. Selain itu, para cracker tersebut juga belum tentu
meninggalkan pesan-pesan yang bersifat politis pada situs yang mereka deface.
Ada kalanya pesan yang mereka sampaikan sifatnya personal, tantangan terhadap
kelompok lain, pesan yang tidak bermakna atau tanpa pesan sama sekali.
Sebab Akibat
Kalau
ditengok dari Momen dan Miskonsepsi, tampaknya kedua faktor tersebut memang
sudah "given" dari sono-nya. Momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2004
memang merupakan sebuah perhelatan bangsa yang menyedot perhatian dari seluruh
masyarakat Indonesia, sehingga memang pantaslah jika menjadi
"tumpangan" para cracker ketika melakukan aksinya. Pun demikian
dengan Miskonsepsi, yang merupakan faktor dengan kondisi "salah kaprah"
di Indonesia. Tidak terlalu banyak yang bisa kita perbuat untuk meminimalisir
terjadinya aksi deface, dengan mengutak-atik kedua faktor di atas. Tetapi untuk
dua faktor lainnya, yaitu Motivasi dan Mekanisme, tampaknya "andil"
KPU turut memiliki faktor yang kuat untuk memancing terjadinya aksi deface
tersebut.
Menurut
yang disampaikan oleh Dani, seperti dikutip oleh berbagai media massa nasional,
motivasi pembobolan situs KPU itu sendiri adalah untuk mengetes sistem keamanan
server penghitungan suara KPU. Masih menurut dia, kemampuan dirinya merasa
tertantang setelah mendengar pernyataan Ketua Kelompok Kerja Teknologi
Informasi KPU Chusnul Mar'iyah di sebuah tayangan televisi yang mengatakan
bahwa sistem TI Pemilu yang bernilai Rp152 miliar, sangat aman dan tidak bisa
tertembus hacker. Memang, faktanya beberapa pernyataan dari KPU berkaitan
dengan sistem TI Pemilu tersebut kerap dikritik oleh beberapa pengamat,
lantaran cenderung bernada over PD, alias percaya diri.
Dani
kemudian menjajal sistem keamanan sistem TI Pemilu, dan ternyata dia menemukan
suatu kelemahan di dalam sebuah server website dengan alamat
http://tnp.kpu.go.id. Rupanya KPU lalai untuk melakukan update atau patched
atas sistem di alamat tersebut. Adanya mekanisme yang "bolong"
tersebutlah yang dimanfaatkan oleh Dani, dengan menggunakan teknik lawas
diantranya berupa SQL Injection. SQL Injection itu sendiri, pada dasarnya
teknik tersebut adalah dengan cara mengetikkan string atau command tertentu
pada address bar di browser yang biasa kita gunakan. Address bar adalah tempat
kita biasa mengetikkan nama suatu alamat website atau URL (uniform resource
locator). Dengan demikian tampaknya Dani tidak perlu harus sampai masuk ke
dalam server tersebut guna mengubah data atau tampilan pada website tersebut, tetapi cukup dengan cara
"merogoh-rogoh" dari luarnya saja.
Dengan
melihat dari hal di atas, maka sekali lagi, kalau kita memang ingin konsisten
dengan klausul sebab-akibat, maka mungkin memang sudah semestinya Dani
menanggung akibat dari yang disebabkannya. Tetapi kita pun harus memahami
secara utuh, bahwa apa yang dilakukan Dani, sejatinya merupakan suatu akibat
dari keberadaan sebab 3M + M2 di atas, termasuk keberadaan andil KPU itu
sendiri di dalamnya. Rasanya memang agak kurang tepat apabila terdapat kasus
cracking terhadap situs milik masyarakat atau didanai oleh uang masyarakat,
pengelolanya kemudian buru-buru mengasosiasikan dirinya sebagai "pemilik
rumah" yang menjadi korban, dan menyerahkan seluruh tanggung-jawab kepada
si cracker.
Padahal
sudah jelas, sejatinya pihak "pemilik rumah" tersebut adalah
masyarakat, yang kemudian memberikan tanggung-jawab kepada pihak pengelola
untuk mengurusnya. Dengan demikian, korban yang sesungguhnya pada kasus di atas
adalah justru masyarakat itu sendiri, dan tanggung-jawab seyogyanya
ditanggung-renteng bersama oleh si cracker dan si pengelola, tentunya dengan
porsi dan kapasitas masing-masing.
Kepastian Hukum
Pertanyaan
berikutnya adalah, "apakah seorang cracker dapat dikenakan sanksi hukum
berdasarkan undang-undang (UU) di Indonesia". Menurut pendapat dan masukan
dari tim ahli hukum ICT Watch, cracker memang bisa dituntut dengan menggunakan
beberapa hukum yang ada. Misalnya yang
telah dilakukan oleh aparat kepolisian seperti telah disampaikan pada bagian
atas tulisan ini, yaitu menggunakan UU no. 36 / 1999 tentang Telekomunikasi.
Sebenarnya masih ada hukum lain yang bisa dikenakan pada seorang cracker,
seperti UU no. 19 / 2002 tentang Hak Cipta. Hukum tersebut bisa saja digunakan,
karena tindakan yang dilakukan oleh cracker adalah melakukan pengubahan
tampilan situs (karya cipta) tanpa izin pada pemilik ciptaan tersebut Kemudian
cracker bisa pula dihadapkan pada UU Hukum Pidana, khususnya pada ketentuan
mengenai "perbuatan yang meresahkan masyarakat".
Namun
kemudian permasalahan yang timbul adalah, sejauh mana hukum yang ada dapat
membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh cracker tersebut. Dalam berbagai
kasus pelanggaran ataupun kejahatan yang berbasis TI, barang bukti yang kerap
diajukan adalah berbentuk data atau informasi elektronik, semisal log server,
log percakapan di chatroom, tampilan situs yang terkena deface, e-mail, dan
sebagainya. Faktanya, hukum di Indonesia belum mengakui bukti elektronik
sebagai sebuah alat bukti pelanggaran atau kejahatan di hadapan pengadilan.
Dengan demikian, penuntutan hukum kepada seorang cracker adalah satu hal,
sedangkan pembuktian kesalahannya adalah hal lain.
Cara
yang mungkin akan ditempuh oleh pihak kepolisian dan kejaksaan untuk
"mensahkan" bukti elektronik tersebut di hadapan pengadilan adalah
dengan adalah dengan cara memproses bukti elektronik tersebut hingga didapatkan
hasil akhir dari sebuah sistem komputer. Logiknya adalah sederhana, yaitu
input-process-output. Maka bukti elektronik tersebut dapat diubah perwujudannya
dalam bentuk hardcopy, di-print misalnya, tanpa adanya modifikasi apapun dari
manusia.
Lalu untuk memperkuatnya, hardcopy tersebut
bisa diserahkan kepada saksi ahli untuk dianalisa dan disampaikan tingkat
akurasi dan kesahihannya di hadapan pengadilan. Tentu saja ini hal ini tidak
mudah, karena pemahaman yang cukup
tentang TI oleh para hakim, jaksa dan polisi untuk menganalisa barang bukti
tersebut, mutlak diperlukan. Selain itu, dengan rantai proses pembuktian yang
relatif cukup panjang tersebut, bisa saja terdapat celah kelemahan yang dapat
menggugurkan barang bukti yang a
Contoh Kasus
Aksi yang dilakukan oleh seorang
cracker bernama "tarjo" ketika mengacak-acak situs Australia
sepanjang akhir 2002 lalu bukanlah aksi yang tergolong mahir/canggih dan tidak
ada sangkut pautnya pernyataan sikap terhadap Australia. Yang dilakukan tarjo
tersebut hanyalah "kebetulan" menemukan hole "hanya" di 1
server yang terletak di Australia, yaitu server milik perusahaan hosting
ausinternet.com.au di IP 66.33.0.61. Jadi lantaran 1 server hostingnya tidak
secure, maka puluhan situs yang berada dalam server itu secara otomatis
terbuka/rawan untuk di-defaced. Jadi aksi tarjo tersebut bukanlah secara random
memilih satu per-satu situs australia, tetapi kebetulan mengincarnya server
hosting di Australia dan dia mendapatkan "1 pintu" untuk masuk ke
banyak situs sekaligus.
Aksi tarjo tersebut tak lain
hanyalah untuk mempromosikan dirinya atau komunitasnya. Seorang hacker yang
menjebol suatu situs dengan tujuan "murni" untuk mengingatkan
adminnya atau untuk tujuan "politik", dia tidak akan
"menyapa" teman-temannya atau nama kelompoknya. Contohnya adalah aksi
Fabian Clone dan K-Elektronik beberapa tahun lalu. Mereka hanya meninggalkan
alamat e-mail mereka atau "hanya" nama kelompok mereka.
Sedangkan yang dilakukan tarjo
adalah dengan menyapa teman-temannya (marshallz, pungky dan syzwz dan
menyebutkan nama tempat komunitasnya berkumpul (#cafeblue). Aksi ini adalah
sekedar promosi nama channel mereka, serupa dengan aksi yang kerap dilakukan
oleh kelompok #antihackerlink dan #medanhacking. Jadi pada awalnya ini bukan
satu bentuk kepedulian hacker terhadap nasib Indonesia - Australia, tetapi
mereka memanfaatkan isu tersebut untuk menaikkan nama mereka.
Demikian pendapat kami, dengan harapan
kita semua dapat waspada dan bijak menghadapi tiap perkembangan aksi deface
situs yang kemungkinan akan mulai bergeliat kembali.
*) Penulis adalah Koordinator ICT
Watch dan jurnalis TI independen. Dapat dihubungi melalui e-mail
donnybu@ictwatch.com. Tulisan ini pernah dimuat oleh majalah Djakarta!, Juni
2004. Tulisan ini bebas dikutip asal menyebutkan sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar