Story - Nenek Pemungut Daun



===Nenek Pemungut Daun===

Kiriman dari seorang sahabat, diambil dari milis kisah hikmah :

Kisah ini membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia t...idak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasulullah saw?

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.

"Nenek Pemungut Daun"

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.

Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."
===Ketika Tirai Tertutup===

Ketika mendengar sebuah berita "miring" tentang saudara kita, apa reaksi kita pertama kali ? Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan berita itu, bahkan ada juga yang dengan semangat meneruskannya kemana-mana.

Kita ceritakan aib saudara kita, sambil berbisik, "sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan berita tersebut ke yang lainnya, juga sambil b...erpesan, "ini rahasia lho!"

Kahlil Gibran dengan baik melukiskan hal ini dalam kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin, jangan salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."

Inilah yang sering terjadi. Saya memiliki seorang rekan muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat mengatakan, "saya dengar dari si A tentang "malam pertamanya" si B." Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A tahu?" Dengan enteng rekan saya menjawab, "ya dari si B sendiri! Bukankah mereka kawan akrab…"

Masya Allah! rupanya bukan saja "rahasia" orang lain yang kita umbar kemana-mana, bahkan "rahasia kamar" pun kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya juga punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.

Saya ngeri mendengar hadis Nabi : "Barang siapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, Allah akan mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."

Fakhr al-Razi dalam tafsirnya menceritakan sebuah riwayat bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan kitab catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. Ketika sampai pada bagian yang berkenaan dengan kejelekan manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh menutupnya. Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk."

Jangan bongkar aib saudara kita, supaya Allah tidak membongkar aib kita. "Ya Allah tutupilah aib dan segala kekurangan kami di mata penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"


Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
===Keceriaan Pak Dhe===

Pak Dhe menarik nafas panjang membaca surat yang dipegangnya. Sebuah surat undangan untuk berdiskusi dengan manajemen pabrik, topiknya efisiensi pabrik.

Mulai minggu lalu, pak Dhe sudah resmi tidak masuk kerja di pabrik. Yang diingat pak Dhe, di hari terakhir kerja, saat dipanggil oleh kepala pabrik, hanya kalimat yang diterjemahkan sebagai “mulai besok bapak tidak usah ...masuk kerja lagi”, selain itu tidak ada lagi kalimat yang masuk dalam telinganya.

Cobaan yang begitu hebat di minggu-minggu ini membuat konsentrasi pak Dhe sangat rapuh. Rasanya imannya seperti biduk di laut lepas yang terkena hantaman badai besar. Terhempas kesana kemari, timbul tenggelam dimainkan ombak.

Kemarin Kang Udin memang memberi tahu tentang undangan itu, tetapi pak Dhe merasa sudah bukan pekerja pabrik lagi, jadi kenapa harus hadir [?].

Memang disebutkan di surat itu, bahwa pak Dhe diundang dalam kapasitasnya sebagai anggota Serikat Pekerja seksi dakwah, tapi apa masih perlu dia datang ke acara diskusi itu [?]

Siangnya, akhirnya pak Dhe memutuskan untuk datang ke pabrik. Minimal dia harus memberi klarifikasi tentang statusnya sekarang dan relevansinya dengan undangan itu.

Seminggu tidak masuk pabrik dan sekaranag, ketika kakiny amenginjak pabrik, wajah-wajah akrab yang biasa dilihatnya kembali muncul di hadapannya. Senyum renyah mereka menyambut kedatangan pak Dhe. Rasanya pak Dhe ingin mengalirkan air mata, tapi panas di matanya masih dapat ditahannya agar tidak menjadi air mata. Di dalam toilet pabrik, barulah air mata itu mengucur deras, sehingga pak Dhe harus berpura-pura wudhu untuk menghapus sisa-sisa air matanya.

Di siaran TiPi disamping kantin pabrik, pak Dhe berhenti sejenak. Berita yang ada adalah maraknya pengangguran di Amerika, sehingga ada seorang laki-laki berumur sekitar 45 tahun harus keluar dari pekerjaan dan sudah berpuluh-puluh kali dia melamar pekerjaan di tempat lain dengan hasil “nihil”.

Istri sang pegawai itu, yang tadinya hanya menjadi ibu Rumah Tangga yang baik, akhirnya ikut mencari kerja, tapi hasilnya sama saja. Fenomena itu tidak hanya terjadi pada sebuah keluarga di Amerika, tetapi terjadi di beberapa keluarga di Amerika, bahkan kondisi yang lebih parah terjadi di beberapa keluarga lainnya.

Ketika asyik noton siaran itu, pundak pak Dhe ditepuk seseorang yang baru masuk.

“Assalamu’alaikum pak Dhe”, sapanya ramah

“Wa’alaikum salam, Pak Rochmat”, terkembang senyum pak Dhe menerima pelukan Ketua Serikat Pekerja Pabrik, pak Rochmat.

Keduanyapun akhirnya asyik berbincang tentang segala hal, sehingga akhirnya sampai ke acara diskusi yang akan dilaksanakan sehabis sholat Dhuhur nanti.

“Kenapa sih aku masih diundang diskusi pak?”

“Lha kan pak Dhe yang mengusulkan diskusi ini bulan lalu dan manajemen akhirnya menyetujui setelah kujelaskan dengan data yang ada”

“Iya memang, tapi aku kan bukan pekerja pabrik lagi”

“Halah…. isu darimana itu?”, kaget pak Rochmat menjawab.

“Pak Abu, kepala Pabrik”

“Astaghfirullah. Sebegitu kejamnya dia sama pak Dhe ya? Alhamdulillah, pak Dhe masih mau datang kesini, jadi bisa kujelaskan duduk perkaranya”

Pak Dhe tidak bisa berkata-kata lagi ketika dia tahu bahwa sebenarnya dia hanya diminta untuk cuti selama sebulan, karena sudah bertahun-tahun pak Dhe tidak pernah mengambil cuti. Pak Dhe terlalu bertanggung jawab dengan pekerjaannya, sehingga cutipun tidak pernah diambilnya.

Yang selalu diambilnya hanyalah libur di tanggal merah saja, itupun kadang masih disempatkan pak Dhe untuk melihat-lihat pabrik.

Temuan pak Dhe tentang tidak efisiennya proses pekerjaan di pabrik rupanya telah membuat berang Kepala Pabrik, sehingga keputusan manajemen berdasar usulan Serikat Pekerja diplintirnya menjadi pemutusan hubungan kerja.

“Pak Abu sudah dipindah ke pabrik kita yang lain dan pak Dhe masih pekerja di pabrik ini. Gitu ceritanya”

Subhanallah, begitulah Allah mengatur roda kehidupan ini. Pak Abu yang telah terpesona oleh kehidupan dunia rupanya telah menjadi gelap mata dan mau melakukan apa saja untuk mencari kesenangan di dunia. Pak Abu telah lupa akan semua petunjuk yang ada di Kitab Allah.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.

Hari ini pak Dhe kembali mendapat pelajaran, betapa rapuhnya insan manusia itu dan betapa berkuasanya sang Maha Pencipta.

Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar